on Minggu, 10 Juli 2011
Oleh :  Saharuddin Usmi

Mandati, 10 July 2011


 Pagi itu aku yang sedang asik tidur di bangunkan oleh seorang teman yang ingin berangkat ke Kendari. “Ayo bangun antar saya dulu ke Bandara Matahora, saya mau ke kendari. Antar saya pake motor cepat karena saya belum punya ticket pesawat sebab dari hari Jum’at saya pesan katanya untuk pnerbangan hari Minggu ke Kendari sudah full.” Lalu, kau mau berangkat pake apa tiket saja tidak ada? Tanyaku. “ Kita menunggu saja di Bandara siapa tau ada penumpang yang tidak jadi berangkat, kita coba melakukan peruntungan hari ini” okay jawabku. Dan berangkatlah kami ke Bandar Udara Matahora yang terletak di Pulau Wangi-Wangi Kecamatan Wangi-Wangi Desa Matahora Kabupaten Wakatobi.
Kami tiba di bandara, setelah melakukan perjalanan 30 menit dari Kelurahan Mandati II  kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Saat itu di bandara, belum banyak terlihat penumpang dan pengantar. Baru jejeran ibu-ibu penjual makanan dan minuman yang duduk teratur di ruang beranda ruang tunggu.
            Sambil menunggu pesawat tiba dan nasib dapat berpihak ke temanku yang sedang mencoba peruntungan, aku memperhatikan ruang tunggu Bandara Matahora itu. Yang mana pada dindingnya terdapat peta besar Wakatobi. Belum sempat aku mengamatinya tiba-tiba datang mengahmapiriku seorang pejabat dari pemda Wakatobi yakni Kepala BKPD Wakatobi: Rusdin, SH. Sembari Beliau bertanya “ mau berangkat jugakah Din? Ndak pak, saya hanya mengantar teman yang mau ke Kendari” Pak Rusdin kemudian mengandeng tanganku untuk pergi duduk di kursi yang tela disiapkan bagi para penunggu di ruangan tunggu Bandara Matahora. Kami bercakap-cakap sejenak seputaran keluarga, setelahnya aku pamit sambil memberi alasan mau mencari temanku tadi. Dan di Bandara mulai tampak wajah-wajah tak dikenal mulai bermunculan yang mungkin akan berangkat entah kemana, dan yang mengantar.
            Aku beranjak dari tempat dudukku tadi, dan menghampiri 3 orang gadis yang dugaanku adalah pengunjung (Daga: pendatang) sedang mengerumuni berangkas dari kaca sambil menawar dagangan dalam berangkas itu. Aku diam sambil memperhatikan dialog antara penjaga berangkas dan 3 orang gadis itu yang intinya adalah menanyakan harga aksesoris buatan masyarakat local untuk di bawa pulang ke kampungnya yang entah untuk apa. Setelah 3 orang gadis itu pergi, akupun mendekatkan diri ke berangkat yang berisikan barang jualan itu dan mengamatinya apa saja barang jualan itu.
            Aku tersentak setelah melihat dagangan dalam berangkas yang terdapat di dalam ruang tunggu Bandara. Aneka cangkang siput dan kerang-kerangan yang telah dibuat sedemikian rupa untuk gelang, kalung, gantungang kunci, dan lain-lain. Dalam hati, aku protes terhadap dagangan ini yang mana berdasarkan informasi dari salah seorang teman, keterampilan masyarakat yang dipajang pada berangkas itu berada dalam binaan Dinas Pariwisata dan Budaya Wakatobi untuk dijualkan.
            Aneh bin ajaib, sedang berada di manakah saya saat ini? Bukankah Wakatobi ini berstatus Taman Nasional sekalian Kabupaten? Dimanakah akselarasinya antara Taman Nasional yang Konservasi dan Kabupaten dengan semboyan “Surga Nyata Bawah Laut” Mengapa kerang-kerang ini sudah berada di darat dalam peti berangkas pula yang siap dipindahkan kemana pembeli inginkan? “Waduh, kasian negeriku, kasian penduduk dalam kampung ini.  tidak benar ini, sebab ini adalah sebuah kesalahan” gumamku.
            Aku tidak protes pada kegiatan masyarakat yang ingin memanfaatkan potensi sumberdaya alamnya untuk kepentingan ekonomi. Tapi aku protes pada pemerintah Wakatobi yang tidak menjalankan peran Education kepada Masyarakat dan Tamu yang berkunjung ke Wakatobi, justru mereka (Pemda) menjadi gerbong yang menarik masyarakat untuk menghancurkan diri sendiri dan keberlanjutan hidupnya demi kepentingan pariwisata.
            Bagi masyarakat adat Wakatobi, siput dan kerang-kerang bukan sekedar barang jualan tapi adalah sumber makanan, sumber yang membuat hidup berlanjut. Ketika kerang-kerangan selain isinya sudah menjadi bahan komersial maka tunggu perburuan besar-besaran akan dilakukan oleh masyarakat. Cukuplah sudah isinya yang menjadi bahan komersil jangan lagi dengan cangkakngnya. Biarkanlah kulit-kulit siput dan kerang itu berada di Wakatobi sebab karena cangkang itulah orang lain mau datang ke negeri ini.
Ketika tingkat kebutuhan cankgkang ini tinggi demi untuk melayani kepentingan tamu karena laku di jual maka secara langsung juga tingkat perburuan terhadap spesies ini meningkat. Secara ekonomi pelaku usaha ini akan mendapatkan ke untungan tapi di sisi lain stock siput dan kerang-kerang ini akan mengalami penurunan akibat tekanan, belum lagi perburuan untuk menyajikan aneka menu berbahan dasar siput dan kerang untuk rumah-rumah makan dan konsumsi masyarakat. Sementara perlu di perhatikan bagaimana stok siput dan kerang-kerang ini di alam. Sebab jika daya dukung alam untuk memproduksi siput tidak sebanding dengan tingkat eskploitasi maka tunggulah yang akan didapat adalah sisah cerita alias dalam bahasa local Kaumbeda “Demo ten Tula-Tula” artinya “Tinggal cerita”.
Perlu dipahami oleh semua khalayak baik masyarakat pribumi dan pendatang ke negeri Wakatobi bahwa: Siput, dan aneka kerang-kerangan ini adalah spesies yang di temukan pada area meti-meti, area pasang surut yang jumlahnya sangat terbatas di alam. Bagi kita masyarakat adat, siput dan aneka kerang-kerang ini adalah sumber makanan yang Allah SWT berikan untuk keberlanjutan hidup dan cadangan sumber makanan kita sebagai pengganti ikan untuk teman kasoami makanan tradisoanal Wakatobi. Siput dan kerang-kerang yang disiapkan di daerah lamun oleh alam kita adalah merupakan isi dari meti-meti atau kita sebut saja kulkas alam yang menyimpan aneka ragam menu untuk kita makan. Karena ketika kondisi alam tak bersahabat, nelayan tak dapat melaut untuk mencari ikan maka kerang-kerang dan siputlah yang menjadi penggantinya, selain itu siput dan kerang-kerang ini adalah makanan yang disiapkan oleh Allah bagi ibu-ibu yang di tinggal rantau oleh suami, dan lama di kirim uang untuk pembeli bahan makanan, maka untuk dapat membeli beras dan kaopi ibu-ibu pergi ke daerah meti-meti untuk mencari siput, kerang-kerangan untuk bahan makanan sekalian jika banyak dapat akan dijual untuk membeli beras dan kasoami guna menyambung hidup diri dan anak-anaknya yang ditinggal rantau oleh sang ayah. Bagi kaum fakir miskin dan anak yatim piatu yang kesehariannya tak mampu membeli beras dan ikan, maka meti-meti yang mana di sana ada siput, kerang-kerangan, Tihe (bulu babi) dan lain-lain yang menjadi sumber makanan dan ekonomi mereka untuk mempertahankan hidup dan melanjutkannya. Alam Wakatobi ini telah ditata secara arif oleh nenek moyang kita agar semua warga yang terdapat di dalamnya adil dalam mendapatkan makanan. Inilah kita wahai sekalian….inilah diri kita..! Makanan kita bukan untuk dijual demi kepentingan sesaat yang pada akhirnya akan membawa kita ke terperosot ke dalam jurang kemiskinan. Kita adalah Suku Buton dari Rumpun Kaumbeda yang memiliki kearifan, mempertahankan diri karena kondisi alam kita yang terbatas menyediakan lahan pertanian. Kita hanya punya Kaopi dan ikan serta siput, kerang, tihe, dan heke-hekente siput dan kerang-kerangan lain untuk kita makan. Beras, tempe, tahu, dan mentega, bukan milik kita sebab tak ada pohon dan sumbernya di Wakatobi.
            Wakatobi saat ini telah berdatangan para pengunjung dari berbagai tempat di belahan Dunia yang berarti terjadi tambahan jumlah penduduk di Wakatobi. Oleh itu Pemda perlu melakukan kajian khusus tentang keberadaan para pengunjung dan daya dukung alam Wakatobi. Mengapa? Sebab pertambahan penduduk adalah salah satu factor ancaman terhadap sumber daya alam yang secara langsung mempengaruhi jumlah stok  makanan yang tersedia di Wakatobi. Factor ledakan penduduk ini memicu percepatan habisnya makanan yang disediakan alam. Pada punckanya kekurangan pangan bagi warga Wakatobi adalah sama dengan mengulang sejarah pekat yang di alami oleh warga negeri ini di masa lalu yakni: zamani kabaha-baha, zaman kekurangan sumber makanan. Pertanyaan dasar kemudian yang muncul adalah

“Benarkah Pembangunan Pariwisata di Wakatobi untuk mensejahterakan masyarakat dilandaskan pada kesungguhan Hati atau setengah hati” sebab kata sejahtera memiliki makna yang berbeda-beda dari sudut pandang  kepentingannya.
            Perlu ada strategi yang mesti dilakukan oleh Pemda Wakatobi untuk menjaga Wakatobi dari kekurangan sumber makanan termasuk siput dan kerang-kerangan, cukuplah sudah kita kehilangan jenis siput: Tandaka, Hengge (Triton), Kofi-kofili, Kambau, Mata nu Komba, Fule, Toburi dan lain-lainnya. Kita sudah ikhlas ikan Napoleon, Melayare, Duyung  pergi tapi jangan sampai kita ikhlaskan lagi jenis lain pergi dari Wakatobi.
            Pada akhir tulisan ini, aku ingin mengatakan kepada semua orang, baik masyarakat lokal (Indigenous People) dan pendatang, agar mari berprilaku Wakatobi, yang mana kita adalah Suku Buton dari rumpun Kaumbeda yang terkenal dengan sistim bertahan dari serangan berbagai musuh termasuk terkenal dengan kemampuan mempertahankan makanan dari tantangan alam. Mari kita mengacu pada tatanan kearifan orang tua kita terdahulu. Sebab Wakatobi ini hanyalah terdiri dari pulau-pulau kecil dengan luas darat dan laut yang terbatas pula yang berarti hanya mampu menampung penduduk dengan jumlah terbatas pula. Negeri orang untuk orang bukan untuk kita.
            Sebelum semua isi alam kita ini pergi satu persatu dari kita, maka kita mesti berpikir bahwa kesejahteraan bagi masyarakat bukan hanya dari sisi angka materi yang bernama uang dan bangunan tapi ketersediaan makanan yang cukup bagi penduduk suatu kaum adalah kesejahteraan sesungguhnya. Bagi pemahamanku uang adalah nomor kesekian dari kebutuhanku, sebab kebutuhan utamaku adalah kampung tengahku tetap terisi makanan artinya ketersediaan makanan adalah diatas segalanya untuk melanjutkan hidup.

“Darat adalah Ibu kandungku,  Laut adalah Ayah kandungku. Ikan, siput, kerang, tihe,   dan semua isi laut adalah saudara  Perempuanku. Suara angin yang berdesir, ombak yang bergemuruh adalah Abangku”

Jangan ambil makanan kami dari upaya mensejahterakan dalam bentuk lembaran uang…..sebab kami tidak makan lembar-lembar uang itu, kami makan ikan, heke-hekente dan kasoami.